CALLING VISA DALAM ASPEK PEMBUAT KEBIJAKAN
Pengaktifan kembali calling visa untuk Israel telah menimbulkan kontroversi tersendiri bagi umat Islam Indonesia dan para aktivis pro kemerdekaan Palestina. Dalam kaitan historis Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah banyak sumbangan moril dan materiil yang diberikan oleh ulama dan rakyat Palestina kepada Indonesia sejak masa kemerdekaan. Dan tidak hanya itu, Presiden Soekarno juga memberikan pernyataan yang sangat tegas bagi penjajahan Israel di tanah Palestina.
“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.” Soekarno (1962).
Hal inilah yang kemudian menjadikan suatu titik balik dari perjuangan kemerdekaan Palestina sebagai bagian dari orientasi kebijakan luar negeri Indonesia. Dari sisi lain, konstitusi Indonesia pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memberikan komitmen bahwa Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan diatas dunia.
Segala bentuk penjajahan Israel di tanah negara Palestina seharusnya sudah menjadi dasar bagi Indonesia untuk terus berjuang menghapuskan penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Namun dalam praktiknya, kepentingan nasional masih diprioritaskan dengan membuat kebijakan yang dapat dikatakan ‘menjalin hubungan dengan Israel’. Pengaktifan kembali calling visa untuk warga negara Israel adalah salah satu contoh bagaimana kepentingan nasional Indonesia lebih diutamakan dengan mencederai prinsip politik luar negeri dan konstitusi Indonesia. Hubungan baik dengan Israel dilakukan dengan diam-diam atau rahasia namun memiliki dampak yang cukup signifikan bagi kedua negara. Sebenarnya hubungan Indonesia dan Israel telah terjalin sejak Orde Baru dengan kontak pembelian pesawat tempur yang digelar secara rahasia. Dan terus meningkat pada sektor pariwisata dan perdagangan dimana pada sektor pariwisata didominasi oleh peziarah Kristen untuk pergi ke Gereja Suci di Yerusalem.
Kembali pada calling visa yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia melalui Permenkumham Nomor M.HH-01.GR.01.06 Tahun 2012 dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-02.GR.01.06 Tahun 2018 yang menetapkan menghapus negara Nigeria sehingga menjadi 8 (delapan) negara calling visa. Pelayanan calling visa adalah mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur, baru kemudian untuk tujuan investasi, bisnis, dan bekerja. Pemerintah juga telah menetapkan ketentuan pemberian visa bagi negara yang termasuk dalam subjek negara calling visa yaitu Afghanistan, Guinea, Israel, Korea Utara, Kamerun, Liberia, Nigeria, dan Somalia. Permohonan eVisa bagi warga negara subjek calling visa dilakukan sangat ketat dan melibatkan tim penilai dari Kemenkumham, Kemendagri, Kemenlu,Kemenaker, Polri, Kejaksaan Agung, BIN, Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia, dan Badan Narkotika Nasional.[1]
Dapat disimpulkan dalam penjelasan sebelumnya bahwa pembuat kebijakan yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Menilik kembali pada dasar hukum penerbitan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-02.GR.01.06 Tahun 2018 yang berkaca pada Permenkumham Nomor M.HH-01.GR.01.06 Tahun 2012 maka aspek pembuat kebijakan disini dapat disimpulkan dengan model organisasional. Model organisasional menekankan pada keberlangsungan kebijakan yang telah dibuat oleh pendahulunya (diteruskan) hingga saat ini sebagai pertimbangan pengambil kebijakan terbaru. Kemenkumham tentunya memiliki keahlian dan alasan mengapa hal ini perlu diteken dengan memerhatikan standar operasional prosedur yang ditelah ditetapkan dalam lembaga pemerintahan tersebut termasuk dengan memerhatikan aspek lain seperti unsur kepentingan nasional. Secara umum tentang penerbitan calling visa dan kaitannya dengan model kebijakan organisasional maka secara kelembagaan Kemenkumham memiliki wewenang untuk menerbitkan Peraturan Menteri maupun Keputusan Menteri yang berkaitan dengan produk hukum di Indonesia.
Tentu dalam membuat kebijakan decision unit dalam kebijakan calling visa ini tidak lepas dari siapa menteri atau pihak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan ini. Dalam lembaga pemerintahan Kemenkumham maka pihak yang bertanggung jawab yaitu Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) yang menjabat tahun 2012 dan Menkumham 2018 memiliki andil dalam menerbitkan produk hukum tersebut. Dalam hal ini dapat digunakan model kebijakan politbiro yang dapat memengaruhi orientasi atau arah kebijakan lembaga tersebut dengan latar belakang aktor individu dibelakangnya. Menkumham 2012 yaitu Amir Syamsuddin dari Partai Demokrat di masa Kabinet Indonesia Bersatu jilid II dan Menkumham 2018 yaitu Yasonna Laoly dari Partai PDI Perjuangan di dua masa Kabinet Presiden Joko Widodo.
Terkait dengan langkah bagaimana Indonesia kembali kepada konstitusi dan berkomitmen kembali kepada politik luar negeri Indonesia maka diperlukan langkah-langkah hukum atau konstitusional dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Judicial review yang dapat dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai dasar hukum terkait UUD 1945 dan politik luar negeri Indonesia. Upaya politik lainnya yaitu partai politik yang memiliki fraksi di DPR dan komitmen atas kemerdekaan Palestina dapat mendesak pemerintah melalui memanggil Menkumham untuk meminta klarifikasi dan pertanggungjawaban atas produk hukum yang diterbitkan oleh Kemenkumham.
[1] Angga Laraspati. 2020. Kemenkumham Pastikan Pemrmohonan Calling Visa Diawasi Ketat. Diakses melalui https://news.detik.com/berita/d-5274740/kemenkumham-pastikan-permohonan-calling-visa-diawasi-ketat pada 03 Desember 2020